Kitab Amtsilah At-Tashrifiyah sangatlah masyhur dikalangan para santri, dikalangan pondok pesantren dan madrasah diniyah para santri biasa menyebut kitab ini dengan nama “Tasripan”. Namun jarang diantara mereka yang mengetahui riwayat hidup penulisnya, yaitu KH. Ma’shum bin Ali. Kesederhanaan beliau membuat banyak orang tidak mengenal kiyai alim yang satu ini.
Nama lengkap beliau adalah Muhammad Ma’shum bin Ali bin Abdul Muhyi Al-Maskumambani. Lahir di Maskumambang Gersik, tepatnya disebuah pondok yang didirikan sang kakek.
Setelah belajar pada ayahnya, Ma’shum muda pergi menuntut ilmu di Pesantren Tebuireng Jombang. Ia termasuk salah satu santri Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari generasi awal. Dimana–saat itu–selain dituntut untuk belajar, para santri juga harus ikut berjuang melawan penjajah yang selalu mengganggu aktifitas mereka. Kedatangannya ke Tebuireng disusul oleh adik kandungnya, Adlan Ali –kelak atas inisiatif Hadratus Syekh, Kiai Adlan mendirikan pondok putri Wali Songo di pusat desa Cukir.
Bertahun-tahun lamanya beliau khidmah/mengabdi di Tebuireng. Kepintarannya dalam segala ilmu, terutama bidang hisab, falak, sharaf dan gramatika arab, membuat Hadratus Syekh kagum. Sehingga Kiai Ma’shum dinikahkah oleh Nyai. Khairiyah yang tak lain adalah putri Hadratus Syekh sendiri.
Mendirikan Pondok di Seblak
Seblak adalah sebuah nama dusun di Desa Kwaron –sekitar 300 m sebelah barat Tebuireng. Penduduk Seblak kala itu masih banyak yang melakukan kemungkaran. Seperti halnya warga Tebuireng sebelum kedatangan Hadratus Syekh. Melihat kondisi demikian, Kiai Ma’shum terasa terpanggil. Hatinya terketuk untuk menyadarkan masyarakat setempat dan mengenalkan Islam secara perlahan.
Jerih payahnya diridhai Allah SWT. Pada tahun 1913, ketika usianya baru 26 tahun, beliau mendirikan pondok dan masjid di desa Seblak. Awalnya hanya sebuah rumah sederhana yang terbuat dari bambu. Seiring berjalannya waktu, pondok tersebut telah berkembang pesat.
Meski sudah berhasil mendirikan pondok, beliau tetap istiqamah mengajar di madrasah Salafiyah Syafiiyah Tebuireng membantu Hadratus Syekh mendidik santri. Pada tahun selanjutnya beliau diangkat menjadi Mufattis (Guru Pengawas) di Madrasah tersebut.
Karya Tulis
Meskipun jumlah karyanya tak sebanyak Hadratus Syeikh, akan tetapi hampir semua kitab karangannya sangat monumental. Bahkan, banyak orang yang lebih mengenal kitab karangannya dibanding pengarangnya. Ada empat kitab karya beliau;
1. Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah. Kitab ini menerangkan ilmu sharaf. Susunannya sistematis, sehingga mudah difaham dan dihafal. Lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik di Indonesia atau di luar negeri, banyak yang menjadikan kitab ini sebagai rujukan. Kitab ini bahkan menjadi menjadi pegangan wajib di setiap pesantren salaf. Ada yang menjulukinya kitab ”Tasrifan Jombang”. Kitab yang terdiri dari 60 halaman ini, telah diterbitkan oleh banyak penerbit, diantaranya Penerbit Salim Nabhan Surabaya. Pada halaman pertamanya tertera sambutan berbahasa Arab dari (mantan) menteri Agama RI, KH. Saifuddin Zuhri.
2. Fathul Qadir. Konon, ini adalah kitab pertama di Nusantara yang menerangkan ukuran dan takaran Arab dalam bahasa Indonesia. Diterbitkan pada tahun 1920-an, kitab ini diterbitkan oleh penerbit Salim Nabhan Surabaya dengan Halaman yang tipis tapi lengkap. Kitab ini banyak dijumpai di pasaran.
3. Ad-Durus Al-Falakiyah. Meskipun banyak orang yang beranggapan bahwa ilmu falak itu rumit, tetapi bagi orang yang mempelajari kitab ini akan berkesan ”mudah”, karena disusun secara sistematis dan konseptual. Di dalamnya termuat ilmu hitung, logaritma, almanak Masehi dan Hijriyah, posisi Matahari, dll. Kitab yang diterbitkan oleh Salim Nabhan Surabaya tahun 1375 H ini, terdiri dari tiga juz dalam satu jilid dengan jumlah 109 halaman.
4. Badi’atul Mitsal. Kitab ini juga menerangkan perihal ilmu falak. Beliau berpatokan bahwa yang menjadi pusat peredaran alam semesta bukanlah Matahari sebagaimana teori yang datang kemudian, melainkan Bumi. Sedangkan Matahari, planet dan bintang yang jumlahnya sekian banyaknya, berjalan mengelilingi Bumi.
Pribadi yang Sederhana
Sebagai Kiai yang berilmu tinggi, Kiai Ma’shum dikenal sebagi Kiai yang akrab dengan kalangan bawah. Saking akrabnya, banyak diantara mereka yang tak mengetahui kalau sebetulnya beliau adalah ulama besar.
Dalam pandangannya, semua orang lebih pintar darinya. Kiai Ma’shum pernah berguru kepada seorang nelayan di perahu, selama dalam perjalanan haji. Beliau tidak merasa malu, meski orang lain menilainya aneh. Hasilnya, dari situ beliau menulis kitab Badi’ah Al-Mitsal.
Beliau juga dikenal sufi. Untuk menghindari sikap sombong di hadapan manusia, menjelang wafat, beliau membakar fotonya. Padahal itu adalah satu-satunya foto yang dimiliki. Hal ini tak lain karena beliau takut identitasnya diketahui oleh banyak orang, yang nantinya akan menimbulkan penyakit hati seperti riya’, ujub, dan sombong.
Hubungan yang Harmonis
Kehidupan sehari-hari Kiai Ma’shum mencerminkan sosok pribadi yang harmonis, baik bersama masyarakat, keluarga, maupun santri. Khusus kepada Hadratus Syeikh, beliau sering menghadiahkan kitab kepada sang mertua yang juga gurunya itu. Sepulangnya dari Mekkah tahun 1332 H, beliau tak lupa membawakan kitab Al-Jawahir Al-Lawami’ sebagai hadiah untuk Kiai Hasyim. Bahkan kitab As-Syifa’ yang pernah diberikannya, menjadi kitab referensi utama Hadratus Syeikh ketika mengarang kitab.
(Almh) Nyai Khoiriyah Hasyim menceritakan: Suatu ketika Kiai Ma’sum pernah berdebat dengan Hadratus Syeikh tentang dua persoalan; pertama, soal foto dan penentuan awal Ramadhan. Menurut Kiai Ma’sum, foto tidak haram. Sedangkan Hadratus Syeikh menyatakan haram.
Kedua, soal permulaan bulan puasa, Kiai Maksum telah menentukannya dengan hisab (perhitungan astronomis). Sedangkan Hadratus Syeikh memilih dengan teori ru’yat (observasi bulan sabit). Akibat perselisihan ini, keluarga Kiai Maksum di Seblak lebih dahulu berpuasa dari pada keluarga Kiai Hasyim dan para santri di Tebuireng.
Walaupun kedua ulama’ ini sering berbeda pendapat, namun hubungan keduanya tetap terjalin akrab. Ini merupakan bukti bahwa perbedaan pendapat di antara ulama merupakan hal yang wajar.
”Kepulangan” Sang Teladan
Pada tangal 24 Ramadhan 1351 atau 8 Januari 1933, Kiai Ma’sum wafat setelah sebelumnya menderita penyakit paru-paru. Beliau wafat pada usia kurang lebih 46 tahun. Wafatnya Kiai Ma’shum merupakan ”musibah besar” terutama bagi santri Tebuireng, karena beliaulah satu-satunya ulama yang menjadi rujukan dalam segala bidang keilmuan setelah Hadratus Syeikh. Semoga segala amalnya diterima oleh Allah SWT dan apa yang ditinggalkan bermanfaat. Allahummagfir lahu wa nafa’ana bihi wa bi ulumihi. Amin.
Nama lengkap beliau adalah Muhammad Ma’shum bin Ali bin Abdul Muhyi Al-Maskumambani. Lahir di Maskumambang Gersik, tepatnya disebuah pondok yang didirikan sang kakek.
Setelah belajar pada ayahnya, Ma’shum muda pergi menuntut ilmu di Pesantren Tebuireng Jombang. Ia termasuk salah satu santri Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari generasi awal. Dimana–saat itu–selain dituntut untuk belajar, para santri juga harus ikut berjuang melawan penjajah yang selalu mengganggu aktifitas mereka. Kedatangannya ke Tebuireng disusul oleh adik kandungnya, Adlan Ali –kelak atas inisiatif Hadratus Syekh, Kiai Adlan mendirikan pondok putri Wali Songo di pusat desa Cukir.
Bertahun-tahun lamanya beliau khidmah/mengabdi di Tebuireng. Kepintarannya dalam segala ilmu, terutama bidang hisab, falak, sharaf dan gramatika arab, membuat Hadratus Syekh kagum. Sehingga Kiai Ma’shum dinikahkah oleh Nyai. Khairiyah yang tak lain adalah putri Hadratus Syekh sendiri.
Mendirikan Pondok di Seblak
Seblak adalah sebuah nama dusun di Desa Kwaron –sekitar 300 m sebelah barat Tebuireng. Penduduk Seblak kala itu masih banyak yang melakukan kemungkaran. Seperti halnya warga Tebuireng sebelum kedatangan Hadratus Syekh. Melihat kondisi demikian, Kiai Ma’shum terasa terpanggil. Hatinya terketuk untuk menyadarkan masyarakat setempat dan mengenalkan Islam secara perlahan.
Jerih payahnya diridhai Allah SWT. Pada tahun 1913, ketika usianya baru 26 tahun, beliau mendirikan pondok dan masjid di desa Seblak. Awalnya hanya sebuah rumah sederhana yang terbuat dari bambu. Seiring berjalannya waktu, pondok tersebut telah berkembang pesat.
Meski sudah berhasil mendirikan pondok, beliau tetap istiqamah mengajar di madrasah Salafiyah Syafiiyah Tebuireng membantu Hadratus Syekh mendidik santri. Pada tahun selanjutnya beliau diangkat menjadi Mufattis (Guru Pengawas) di Madrasah tersebut.
Karya Tulis
Meskipun jumlah karyanya tak sebanyak Hadratus Syeikh, akan tetapi hampir semua kitab karangannya sangat monumental. Bahkan, banyak orang yang lebih mengenal kitab karangannya dibanding pengarangnya. Ada empat kitab karya beliau;
1. Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah. Kitab ini menerangkan ilmu sharaf. Susunannya sistematis, sehingga mudah difaham dan dihafal. Lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik di Indonesia atau di luar negeri, banyak yang menjadikan kitab ini sebagai rujukan. Kitab ini bahkan menjadi menjadi pegangan wajib di setiap pesantren salaf. Ada yang menjulukinya kitab ”Tasrifan Jombang”. Kitab yang terdiri dari 60 halaman ini, telah diterbitkan oleh banyak penerbit, diantaranya Penerbit Salim Nabhan Surabaya. Pada halaman pertamanya tertera sambutan berbahasa Arab dari (mantan) menteri Agama RI, KH. Saifuddin Zuhri.
2. Fathul Qadir. Konon, ini adalah kitab pertama di Nusantara yang menerangkan ukuran dan takaran Arab dalam bahasa Indonesia. Diterbitkan pada tahun 1920-an, kitab ini diterbitkan oleh penerbit Salim Nabhan Surabaya dengan Halaman yang tipis tapi lengkap. Kitab ini banyak dijumpai di pasaran.
3. Ad-Durus Al-Falakiyah. Meskipun banyak orang yang beranggapan bahwa ilmu falak itu rumit, tetapi bagi orang yang mempelajari kitab ini akan berkesan ”mudah”, karena disusun secara sistematis dan konseptual. Di dalamnya termuat ilmu hitung, logaritma, almanak Masehi dan Hijriyah, posisi Matahari, dll. Kitab yang diterbitkan oleh Salim Nabhan Surabaya tahun 1375 H ini, terdiri dari tiga juz dalam satu jilid dengan jumlah 109 halaman.
4. Badi’atul Mitsal. Kitab ini juga menerangkan perihal ilmu falak. Beliau berpatokan bahwa yang menjadi pusat peredaran alam semesta bukanlah Matahari sebagaimana teori yang datang kemudian, melainkan Bumi. Sedangkan Matahari, planet dan bintang yang jumlahnya sekian banyaknya, berjalan mengelilingi Bumi.
Pribadi yang Sederhana
Sebagai Kiai yang berilmu tinggi, Kiai Ma’shum dikenal sebagi Kiai yang akrab dengan kalangan bawah. Saking akrabnya, banyak diantara mereka yang tak mengetahui kalau sebetulnya beliau adalah ulama besar.
Dalam pandangannya, semua orang lebih pintar darinya. Kiai Ma’shum pernah berguru kepada seorang nelayan di perahu, selama dalam perjalanan haji. Beliau tidak merasa malu, meski orang lain menilainya aneh. Hasilnya, dari situ beliau menulis kitab Badi’ah Al-Mitsal.
Beliau juga dikenal sufi. Untuk menghindari sikap sombong di hadapan manusia, menjelang wafat, beliau membakar fotonya. Padahal itu adalah satu-satunya foto yang dimiliki. Hal ini tak lain karena beliau takut identitasnya diketahui oleh banyak orang, yang nantinya akan menimbulkan penyakit hati seperti riya’, ujub, dan sombong.
Hubungan yang Harmonis
Kehidupan sehari-hari Kiai Ma’shum mencerminkan sosok pribadi yang harmonis, baik bersama masyarakat, keluarga, maupun santri. Khusus kepada Hadratus Syeikh, beliau sering menghadiahkan kitab kepada sang mertua yang juga gurunya itu. Sepulangnya dari Mekkah tahun 1332 H, beliau tak lupa membawakan kitab Al-Jawahir Al-Lawami’ sebagai hadiah untuk Kiai Hasyim. Bahkan kitab As-Syifa’ yang pernah diberikannya, menjadi kitab referensi utama Hadratus Syeikh ketika mengarang kitab.
(Almh) Nyai Khoiriyah Hasyim menceritakan: Suatu ketika Kiai Ma’sum pernah berdebat dengan Hadratus Syeikh tentang dua persoalan; pertama, soal foto dan penentuan awal Ramadhan. Menurut Kiai Ma’sum, foto tidak haram. Sedangkan Hadratus Syeikh menyatakan haram.
Kedua, soal permulaan bulan puasa, Kiai Maksum telah menentukannya dengan hisab (perhitungan astronomis). Sedangkan Hadratus Syeikh memilih dengan teori ru’yat (observasi bulan sabit). Akibat perselisihan ini, keluarga Kiai Maksum di Seblak lebih dahulu berpuasa dari pada keluarga Kiai Hasyim dan para santri di Tebuireng.
Walaupun kedua ulama’ ini sering berbeda pendapat, namun hubungan keduanya tetap terjalin akrab. Ini merupakan bukti bahwa perbedaan pendapat di antara ulama merupakan hal yang wajar.
”Kepulangan” Sang Teladan
Pada tangal 24 Ramadhan 1351 atau 8 Januari 1933, Kiai Ma’sum wafat setelah sebelumnya menderita penyakit paru-paru. Beliau wafat pada usia kurang lebih 46 tahun. Wafatnya Kiai Ma’shum merupakan ”musibah besar” terutama bagi santri Tebuireng, karena beliaulah satu-satunya ulama yang menjadi rujukan dalam segala bidang keilmuan setelah Hadratus Syeikh. Semoga segala amalnya diterima oleh Allah SWT dan apa yang ditinggalkan bermanfaat. Allahummagfir lahu wa nafa’ana bihi wa bi ulumihi. Amin.